Mandi Wajib Usai Hubungan Suami Istri
Selasa, 09 Agustus 2011 20:15 WIB
Pertanyaan:Assalamu'alaikum wr. wb.
Pak Ustadz, meneruskan pertanyaan dari Ibu Indri, mengenai hubungan suami istri di malam ramadhan, bahwa Pak Ustadz mengatakan "Berdasarkan surat Al-Baqarah ayat 187, di mana ayat tersebut merupakan dalil diperbolehkannya untuk makan, minum dan melakukan hubungan suami istri sampai datangnya waktu fajar. Dan diwajibkan bagi mereka berdua untuk mandi sebelum melaksanakan shalat Shubuh."
Untuk memastikannya lagi Pak Ustadz, apakah mandi hadats ini harus dilakukan sebelum waktu imsak (sebelum dimulainya berpuasa), sebelum adzan Shubuh, atau sebelum melaksanakan shalat Shubuh? Terima kasih.
Wassalam
Lina Nurainy
Jawaban:
Assalamu'alaikum wr. wb.
Ibu Lina Nurainy yang dirahmati Allah,
Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (1926) dan Imam Muslim (1109) dari Aisyah RA dan Ummu Salamah RA bahwa Rasulullah SAW mendapatkan waktu fajar, sedangkan beliau (Rasulullah) dalam keadaan junub di rumah keluarga beliau kemudian beliau mandi dan berpuasa.
Shalat Shubuh itulah yang mensyaratkan bagi orang yang junub untuk mandi wajib. Bila seseorang yang masih dalam keadaan hadats besar, lalu masuk waktu Shubuh, padahal dia sudah berniat untuk puasa, maka puasanya sah dan tidak batal.
Namun alangkah baiknya jika orang tersebut sudah mandi sebelum azan dan bersiap-siap untuk shalat Shubuh berjamaah di masjid bagi laki-laki, sehingga dia tidak tertinggal untuk mendapatkan pahala shalat dua rakaat sebelum shalat Shubuh, yang pahalanya lebih baik dari dunia dan seisinya serta mendapatkan pahala shalat Shubuh berjamaah di masjid.
Sebagai tambahan pejelasan di sini, jika ada seorang yang bermimpi 'basah' di siang Ramadhan, puasanya tetap sah dan tidak batal, meskipun tidak langsung mandi wajib saat itu juga. Tetapi dia tetap wajib mandi saat akan melakukan shalat.
Yang perlu dipahami adalah bahwa berhadats besar bukan termasuk syarat sah puasa, namun yang membatalkan puasa adalah bila seseorang secara sengaja melakukan hal-hal yang membuat dirinya berhadats besar pada saat ia sedang berpuasa. Misalnya berhubungan suami istri di siang Ramadhan. Dan jika hal ini terjadi, hukumannya sangat berat, yaitu ia harus membebaskan budak, atau berpuasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan 60 fakir miskin.
Adapun bila tidak sampai terjadi jima' (hubungan suami istri) , hanya percumbuan suami istri, tapi sampai inzal (keluar mani), barulah puasanya batal tanpa ada kewajiban membayar kafarat. Kewajibannya hanya mengqadha' (mengganti) puasanya yang batal saja.
Wallahu a'lam bishshawwab.
Wassalam
Ust. H. Zulhamdi M. Saad, Lc
Papan Iklan “Yesus Nabi Islam” Beredar di Australia
Rabu, 06 Juli 2011 | 11:00 WIB
TEMPO Interaktif, Sydney - Sebuah kelompok Muslim bernama “MyPeace” (Damai Milikku) saat ini sedang mengkampanyekan kehidupan harmonis antara penganut agama Islam dengan pemeluk Nasrani. Salah satu wujudnya adalah memasang papan iklan di tempat umum dengan tulisan provokatif, yakni “Yesus Nabi Islam”.
Papan iklan itu pertama kali berdiri di Kota Sydney, di atas bangunan sebuah toko ban dekat perempatan jalan. Menurut pendiri MyPeace, Diaa Muhammad, pihaknya akan memasang papan iklan serupa berikutnya di Kota Adelaide.
Sebanyak 64 persen dari 22,6 juta penduduk Australia adalah penganut Kristen. Islam merupakan agama terbesar ketiga setelah Buddha dengan jumlah 1,7 persen.
Tentu saja, papan iklan “Yesus Nabi Islam” itu menimbulkan kontroversi di masyarakat Negeri Kanguru itu. Sejumlah orang yang tidak suka mulai melakukan perusakan terhadap tempat-tempat ibadah kedua agama. Sebanyak 65 protes sudah disampaikan kepada Biro Standar Iklan Australia agar pemasangan papan iklan semacam itu dilarang.
Namun, otoritas iklan Australia menolak semua keluhan itu dengan alasan kebebasan berpendapat dalam negara demokrasi. Salah satu pendukung ide iklan itu menyatakan, “Tentu tidak akan ada kesempatan sebuah papan iklan "Yesus Putra Tuhan" terpampang di Iran.”
Kampanye harmonisasi Islam-Kristen yang dilancarkan Diaa Muhammad ini mendapat tanggapan positif dari seorang pendeta bernama Ian Powell. Keduanya lantas kerap bertemu untuk membahas soal agama dan ekstremisme.
Menurut Diaa, sebagai bagian memberikan pemahaman soal Islam terhadap penganut agama lain, kantornya membagikan Al-Quran gratis bagi siapa saja yang memerlukan. “Telepon sekarang, operator kami siap membantu,” katanya.
Papan iklan itu pertama kali berdiri di Kota Sydney, di atas bangunan sebuah toko ban dekat perempatan jalan. Menurut pendiri MyPeace, Diaa Muhammad, pihaknya akan memasang papan iklan serupa berikutnya di Kota Adelaide.
Sebanyak 64 persen dari 22,6 juta penduduk Australia adalah penganut Kristen. Islam merupakan agama terbesar ketiga setelah Buddha dengan jumlah 1,7 persen.
Tentu saja, papan iklan “Yesus Nabi Islam” itu menimbulkan kontroversi di masyarakat Negeri Kanguru itu. Sejumlah orang yang tidak suka mulai melakukan perusakan terhadap tempat-tempat ibadah kedua agama. Sebanyak 65 protes sudah disampaikan kepada Biro Standar Iklan Australia agar pemasangan papan iklan semacam itu dilarang.
Namun, otoritas iklan Australia menolak semua keluhan itu dengan alasan kebebasan berpendapat dalam negara demokrasi. Salah satu pendukung ide iklan itu menyatakan, “Tentu tidak akan ada kesempatan sebuah papan iklan "Yesus Putra Tuhan" terpampang di Iran.”
Kampanye harmonisasi Islam-Kristen yang dilancarkan Diaa Muhammad ini mendapat tanggapan positif dari seorang pendeta bernama Ian Powell. Keduanya lantas kerap bertemu untuk membahas soal agama dan ekstremisme.
Menurut Diaa, sebagai bagian memberikan pemahaman soal Islam terhadap penganut agama lain, kantornya membagikan Al-Quran gratis bagi siapa saja yang memerlukan. “Telepon sekarang, operator kami siap membantu,” katanya.
Tokoh Sufi:
Syekh Ibnu Atha'illah
Penulis Kitab Al-Hikam
Jumat, 17 Juni 2011 20:59 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Nama lengkapnya adalah Syekh Ahmad ibnu Muhammad Ibnu Atha’illah As-Sakandari. Ia lahir di Iskandariah (Mesir) pada 648 H/1250 M, dan meninggal di Kairo pada 1309 M. Julukan Al-Iskandari atau As-Sakandari merujuk kota kelahirannya itu.
Sejak kecil, Ibnu Atha’illah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa syekh secara bertahap. Gurunya yang paling dekat adalah Abu Al-Abbas Ahmad ibnu Ali Al-Anshari Al-Mursi, murid dari Abu Al-Hasan Al-Syadzili, pendiri tarikat Al-Syadzili. Dalam bidang fiqih ia menganut dan menguasai Mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut sekaligus tokoh tarikat Al-Syadzili.
Ibnu Atha'illah tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab Al-Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibnu Ibad Ar-Rasyid-Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibnu Ajiba.
Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath Al-Tadbir, Unwan At-Taufiq fi’dab Al-Thariq, Miftah Al-Falah dan Al-Qaul Al-Mujarrad fil Al-Ism Al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syekhul Islam ibnu Taimiyyah mengenai persoalan tauhid.
Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibnu Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme. Sementara Ibnu Atha'illah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.
Ibnu Atha'illah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.
Ia dikenal sebagai master atau syekh ketiga dalam lingkungan tarikat Syadzili setelah pendirinya Abu Al-Hasan Asy-Syadzili dan penerusnya, Abu Al-Abbas Al-Mursi. Dan Ibnu Atha'illah inilah yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah tarikat Syadziliyah tetap terpelihara.
Meski ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh intelektualismenya hanya terbatas di tarikat saja. Buku-buku Ibnu Atha'illah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al-Hikam.
Kitab Al-Hikam ini merupakan karya utama Ibnu Atha’illah, yang sangat populer di dunia Islam selama berabad-abad, sampai hari ini. Kitab ini juga menjadi bacaan utama di hampir seluruh pesantren di Nusantara.
Syekh Ibnu Atha’illah menghadirkan Kitab Al-Hikam dengan sandaran utama pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Guru besar spiritualisme ini menyalakan pelita untuk menjadi penerang bagi setiap salik, menunjukkan segala aral yang ada di setiap kelokan jalan, agar kita semua selamat menempuhnya.
Kitab Al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu Atha’illah, khususnya dalam paradigma tasawuf. Di antara para tokoh sufi yang lain seperti Al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu Husen An-Nuri, dan para tokoh sufisme falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran Ibnu Atha’illah bukan sekedar bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi. Tetapi diimbangi dengan unsur-unsur pengamalan ibadah dan suluk, artinya di antara syari’at, tarikat dan hakikat ditempuh dengan cara metodis. Corak Pemikiran Ibnu Atha’illah dalam bidang tasawuf sangat berbeda dengan para tokoh sufi lainnya. Ia lebih menekankan nilai tasawuf pada ma’rifat.
Adapun pemikiran-pemikiran tarikat tersebut adalah: Pertama, tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal rahmat Illahi.
"Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur. Dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya," kata Ibnu Atha'illah.
Kedua, tidak mengabaikan penerapan syari’at Islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan Al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Mengarah kepada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs), serta pembinaan moral (akhlak), suatu nilai tasawuf yang dikenal cukup moderat.
Ketiga, zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati selain daripada Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas. "Semua itu hanyalah permainan (al-la’b) dan senda gurau (al-lahwu) yang akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum sufi," ujarnya.
Keempat, tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimiliknya. Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia. Seorang salik, kata Atha'illah, tidak bersedih ketika kehilangan harta benda dan tidak dimabuk kesenangan ketika mendapatkan harta.
Kelima, berusaha merespons apa yang sedang mengancam kehidupan umat, berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik.
Keenam, tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Bagi Syekh Atha'illah, tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah SWT, senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sunguh-sungguh.
Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma’rifat Al-Syadzili, ia berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan; mawahib, yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugerah tersebut; dan makasib, yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, dzikir, wudhu, puasa ,sahalat sunnah dan amal shalih lainnya.
Sejak kecil, Ibnu Atha’illah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa syekh secara bertahap. Gurunya yang paling dekat adalah Abu Al-Abbas Ahmad ibnu Ali Al-Anshari Al-Mursi, murid dari Abu Al-Hasan Al-Syadzili, pendiri tarikat Al-Syadzili. Dalam bidang fiqih ia menganut dan menguasai Mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut sekaligus tokoh tarikat Al-Syadzili.
Ibnu Atha'illah tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab Al-Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibnu Ibad Ar-Rasyid-Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibnu Ajiba.
Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath Al-Tadbir, Unwan At-Taufiq fi’dab Al-Thariq, Miftah Al-Falah dan Al-Qaul Al-Mujarrad fil Al-Ism Al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syekhul Islam ibnu Taimiyyah mengenai persoalan tauhid.
Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibnu Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme. Sementara Ibnu Atha'illah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.
Ibnu Atha'illah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.
Ia dikenal sebagai master atau syekh ketiga dalam lingkungan tarikat Syadzili setelah pendirinya Abu Al-Hasan Asy-Syadzili dan penerusnya, Abu Al-Abbas Al-Mursi. Dan Ibnu Atha'illah inilah yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah tarikat Syadziliyah tetap terpelihara.
Meski ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh intelektualismenya hanya terbatas di tarikat saja. Buku-buku Ibnu Atha'illah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al-Hikam.
Kitab Al-Hikam ini merupakan karya utama Ibnu Atha’illah, yang sangat populer di dunia Islam selama berabad-abad, sampai hari ini. Kitab ini juga menjadi bacaan utama di hampir seluruh pesantren di Nusantara.
Syekh Ibnu Atha’illah menghadirkan Kitab Al-Hikam dengan sandaran utama pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Guru besar spiritualisme ini menyalakan pelita untuk menjadi penerang bagi setiap salik, menunjukkan segala aral yang ada di setiap kelokan jalan, agar kita semua selamat menempuhnya.
Kitab Al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu Atha’illah, khususnya dalam paradigma tasawuf. Di antara para tokoh sufi yang lain seperti Al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu Husen An-Nuri, dan para tokoh sufisme falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran Ibnu Atha’illah bukan sekedar bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi. Tetapi diimbangi dengan unsur-unsur pengamalan ibadah dan suluk, artinya di antara syari’at, tarikat dan hakikat ditempuh dengan cara metodis. Corak Pemikiran Ibnu Atha’illah dalam bidang tasawuf sangat berbeda dengan para tokoh sufi lainnya. Ia lebih menekankan nilai tasawuf pada ma’rifat.
Adapun pemikiran-pemikiran tarikat tersebut adalah: Pertama, tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal rahmat Illahi.
"Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur. Dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya," kata Ibnu Atha'illah.
Kedua, tidak mengabaikan penerapan syari’at Islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan Al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Mengarah kepada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs), serta pembinaan moral (akhlak), suatu nilai tasawuf yang dikenal cukup moderat.
Ketiga, zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati selain daripada Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas. "Semua itu hanyalah permainan (al-la’b) dan senda gurau (al-lahwu) yang akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum sufi," ujarnya.
Keempat, tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimiliknya. Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia. Seorang salik, kata Atha'illah, tidak bersedih ketika kehilangan harta benda dan tidak dimabuk kesenangan ketika mendapatkan harta.
Kelima, berusaha merespons apa yang sedang mengancam kehidupan umat, berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik.
Keenam, tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Bagi Syekh Atha'illah, tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah SWT, senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sunguh-sungguh.
Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma’rifat Al-Syadzili, ia berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan; mawahib, yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugerah tersebut; dan makasib, yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, dzikir, wudhu, puasa ,sahalat sunnah dan amal shalih lainnya.
Redaktur: cr01
Sumber: Dari berbagai sumber